GUNUNG
Ketika bepergian, entah itu dengan kendaraan berupa mobil,
motor, kereta atau moda transportasi lainnya, satu diantara pengalaman
didalamnya adalah menjumpai pemandangan berlatar pegunungan biru tua yang
seakan meningkahi birunya langit yang cerah. Kalaupun langit mendung, pemandangan gunung yang melegam selalu
memberikan kesan kemisteriusannya. Apalagi kalau jalan yang kita lalui meniti
lesung punggungannya, sudah tentu selain pemandangan elok, udara segar pun
dapat dihirup dalam-dalam secara Cuma-Cuma.
ONGGOKAN TANAH DAN
BATU
Dalam konteks bentuk atau morfologi, gunung merupakan sebuah
keadaan atau muka bumi yang menonjol di antara wilayah sekitarnya atau bagian
dari permukaan bumi yang menjulang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah di sekitarnya.
Beberapa kajian menetapkan ketinggian 2000 kaki menjadi syarat suatu permukaan
bumi yang menonjol dikatakan sebuah gunung. Tapi kenyatannya definisi yang baru
saja kita simak tak bisa mewakili siapa dan apa itu gunung, terlebih dalam
konteks kebudayaan.
Dalam konteks budaya Sunda yang menjadi salah satu
kebudayaan di tanah air, konsep gunung secara bahasa berasal dari istilah “unggul”
dan/atau “unggulan”, yang kurang lebih berarti “menonjol”, “spesial”, “khusus”.
Definisi gunung yang berasal dari kata “unggul” berdasarkan konsep bahasa Sunda
relatif sejalan dengan konsepsi “unggul” dalam bahasa Indonesia, di mana “unggul”
itu sendiri didefinisikan sebagai “lebih tinggi”, dan selaras dengan definisi “mountain”
dalam bahasa Inggris yang didefinisikan sebagai “prominence”.
Lebih dalam pada konteks filosofis masyarakat Sunda, gunung
dimaknai sebagai “mandala” yang berarti tempat belajar mengenai pengabdian atau
dharma, gunung menjadi pusat kebudayaan itu sendiri yang kemudian menjadi pusat
peradaban. Gunung juga digambarkan sebagai Rahim dari ibu pertiwi, pemaknaan
tersebut memiliki dasar filosofis yang kuat, di mana dalam konteks ‘patanjala’
(merujuk pada Rahmat Leuweung, 2019) gunung tak ubahnya tubuh makhluk yang
memiliki anatomi, salah satunya berupa “gentong bumi”. Secara fisik gentong
bumi adalah kawasan yang terdiri dari badan gunung, mulai dari puncak hingga
mata air tertinggi dari sebuah aliran sungai, yang menjadikan gentong bumi
dalam sebuah gunung adalah induk dari sungai sungai yang mengalir dan
menghidupi apa saja yang dilaluinya hingga bermuara dihadapan samudera. Oleh
karena itu pemaknaan Gunung sebagai Rahim dari ibu pertiwi yang lahir dari
peradaban lampau sudah sangat mewakili mengenai apa dan siapa gunung pada hari
ini dan esok lusa.
Namun apa dan siapa gunung hari ini mungkin telah mengalami
penyempitan makna atau bahkan perubahan makna total. Jawaban mengenai apa dan
siapa telah dijawab secara tidak langsung oleh kita sendiri. contohnya bisa
kita ambil dari diri kita sendiri, apa menurut aku, kamu atau kita mengenai apa
dan siapa itu gunung? Sebelum kita mengetahui hal-hal di atas, yang terlintas
dalam benak kita mungkin hanya bermakna “Onggokan batu dan tanah”.
Mungkin.
DIRIJEN EKOSISTEM SEMESTA
Chopin, Beethoven, Mozart dkk para musisi jenius yang hingga
kini karyanya melegenda dan menjadi rujukan dalam dunia music klasik khususnya,
menciptakan rima-rima yang dirangkum dalam sebuah keharmonisan, dalam alunan
yang begitu enak didengar. Ciptaan-ciptaan mereka hingga kini masih banyak
disajikan dalam gelaran-gelaran music jendre klasikan. Audience nya pun bisa
dibilang kalangan khusus, kalangan yang bisa menafsirkan lika-liku nada yang
memang biasanya tersaji tanpa ada sepatah kata didalamnya.
Dalam sebuah pagelaran orchestra, ada begitu banyak
instrumen atau alat music yang dimainkan. Semua memiliki porsi dan takaran
sesuai dengan alur yang telah diciptakan sang jenius music. Satu sosok sentral
dikerumunan penyaji orchestra adalah seorang dirijen, yang mengatur keseluruhan
jalannya lagu dimainkan. Ia bertugas mengatur jatah.
Gunung yang tadi telah disebutkan sebagai Rahim atau sumber
kehidupan disektarnya, juga bertugas sebagai dirijen. Dari kebutuhan kumbang
ditepian kelopak bunga, hingga pohon-pohon raksasa yang mengatapi hutan juga
manusia yang rada-rada enggak jelas, semua terpenuhi! Kalau boleh kita runut
sedikit, tidak hanya air saja yang diberikan dengan bijak tanpa timpang, udara,
tanah yang subur, yang kemudian terciptalah sayur-mayur dan buah-buahan bergizi
tinggi bagi manusia yang agak gak jelas dan rewel ini.
Dengan kemampuan manajerial dalam mengelola tugas sebagai
dirijen handal, maka kebudayaan masyarakat sunda lampau telah memberikan banyak
titel bagi gunung diantaranya adalah “Pungguh Anu Agung” yang bila kita alih
bahasakan Pungguh adalah sesuatu yang berdiam diri, dan Agung yang memiliki
sinonim sesuatu yang luhur. Pemberian titel sebagaimana yang telah disampaikan
sebelumnya adalah suatu bentuk penyembahan kepada subject yang berada dibalik
semuanya, apabila dalam musik kita menyebutnya sang jenius, maka dalam hal ini
kita mengenalnya sebagai Sang Maha Pencipta.
GUNUNG SUMBER
BENCANA!!!???
Indonesia yang terbentang dari aceh hingga papua berada pada
satu wilayah bentangan cincin api, hal tersebut menegaskan bahwa mayoritas dari
seluruh wilayah nusantara memiliki gunung-gunung aktif disekitarnya. Hal ini
menjadikan pula masyarakat yang hidup di wilayah nusantara begitu akrab dengan
gunung-gunung aktif. Dalam kajian ilmiah dan teologi, dikatakan bahwa bumi
dengan segala isinya telah diciptakan sempurna (ideal untuk hidup dan
menghidupi), dalam kebudayaan sunda terdapat istilah “buana panca tengah,
ngadeg sampurna” yang juga menyatakan hal serupa. Keseimbangan, keteraturan
sudah tercipta dalam keharmonisan.
Namun toh akhir-akhir ini kesempurnaan tersebut seakan
luntur dengan peristiwa-peristiwa naas yang terjadi. Longsor lah, gunung
meletus yang terjadi begitu saja dan hutan-hutan gunung yang hangus menebar
udara tak sesejuk biasanya, malah menyesakan hingga negeri tetangga tak
bosan-bosan melempar protes.
Belum lagi hal-hal
yang menyangkut makhluk kecil yang saling caplok wilayah hutan dan gunung. Harimau
dan gajah sumatera misalnya, yang selalu menjadi biang keladi dalam singgungan
dengan desa-desa yang seharusnya makmur, tenang dan bersahaja. kalau di
sekitaran gunung bandung paling-paling monyet-monyet kecil atau surili dan babi
hutan atau bagong yang biasa jahil masuk-masuk kebun warga, kalau harimau sih
engga, maksudnya udah engga ada, kan udah dinyatakan punah tahun 70-an oleh
International Union of Conservation (IUCN).
Ribet ya hidup berdampingan dengan alam yang mestinya
mensuplai apa maunya kita. Malah belakangan ini seakan tak henti-henti kita
diancamnya. Tapi hidup tanpa alam juga ga mungkin, 3 menit tanpa oksigen yang
dipasok hutan dan lautan melalui daun-daun hijau rindang dan
plankton-planktonnya yang tak kasat mata, kita sudah bisa dalam dimensi black
out atau pingsan. 2 menit tanpa oksigen selanjutnya kita sudah bisa menysul
kepunahan dari spesies yang sudah-sudah.
Bersambung di postingan selanjutnya…
Komentar
Posting Komentar